Arthur Siagian - Hidup yang Dipersembahkan
- mdcsbysystem
- 19 Nov
- 8 menit membaca
Catatan Khotbah “Hidup yang Dipersembahkan.” Ditulis ulang dari sharing Bp. Pdt. Arthur Siagian di Ibadah Minggu di MDC Graha Pemulihan, pada Tgl. 9 November 2025.
Kita akan belajar mengenai tema “Hidup yang Dipersembahkan” dari kehidupan Stefanus, di mana dirinya sudah melakukan yang terbaik bagi Tuhan dan mempersembahkan hidup hanya bagi-Nya. Stefanus menjalani kehidupan yang bermakna, berdampak, dan juga memuliakan nama Tuhan.
Stefanus memiliki profil hidup yang unik:
Kisah hidupnya hanya tercatat sebanyak dua pasal di dalam kitab Kisah Para Rasul, seorang muda yang penuh dengan iman dan juga Roh Kudus, dirinya adalah salah satu dari tujuh diaken yang terpilih, dan yang oleh karena kesaksiannya tentang Kristus telah menjadi martir pertama dari gereja mula-mula yang ada di kota Yerusalem.
Bahkan tidak menutup kemungkinan kalau kehidupan Stefanus ini nantinya juga membawa dampak yang cukup besar pada kehidupan Saulus, yang di pasal 9:3-5 telah mendengar suara Yesus dan di pasal 13:9 namanya disebut dengan Paulus. Apa yang dilihat dan dipelajari Paulus dari kehidupan Stefanus, telah memberi dampak yang cukup signifikan dalam hidup dan pelayanannya.
Dari kisah hidup Stefanus yang ditulis singkat, kita dapat belajar tentang apa arti dari “Hidup yang Dipersembahkan”.
Pertama. Hidup Stefanus adalah hidup yang didedikasikan bagi Tuhan, untuk dapat melayani Dia dan juga sesama.
“Dan Stefanus, yang penuh dengan karunia dan kuasa, mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda di antara orang banyak.” (Kisah Rasul 6:8).
Dikatakan pada kita di dalam pasal 6, Stefanus ini ditulis telah terpilih “..tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat,” (6:3) untuk pembagian pada para janda dalam pelayanan sehari-hari (6:1).
Bagi sebagian besar orang, posisi dan jabatan dianggap sangat penting karena dapat memberikan otoritas untuk dapat berfungsi. Sehingga banyak yang menilai ketika dirinya tidak memiliki posisi / jabatan, mereka memilih hanya sekadar hadir untuk menjadi penonton, dan hanya menikmati suasana yang terjadi di sekitarnya.
Saat Stefanus terpilih menjadi seorang diaken, tentu saja ritme di dalam hidupnya berubah cukup banyak. Dirinya sekarang memiliki tugas untuk mengurus kebutuhan jemaat, tidak cukup hanya dikerjakan pada hari Minggu saja tetapi juga di setiap harinya. Pastinya, hal ini membutuhkan kerelaan untuk mau menyediakan waktu di setiap hari untuk menyelesaikan setiap tugas yang dipercayakan di dalam hidup Stefanus.
“Dan Stefanus, yang penuh dengan karunia dan kuasa, mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda di antara orang banyak.” (6:8).
Di ayat di atas dicatat ada kata-kata,
“..di antara orang banyak.”
Hal ini menunjukkan pada kita bahwa karunia rohani yang telah Stefanus terima tidak hanya dinikmati untuk dirinya saja, tetapi juga didedikasikan bagi Tuhan dan juga untuk melayani sesama, dalam hidup kesehariannya.
Karena itu yang namanya melayani Tuhan dan sesama tidak perlu menunggu ada posisi dan jabatan terlebih dahulu. Saat Roh Kudus tinggal di dalam hidup kita, Dia memberi kemampuan untuk dapat melayani Tuhan dan sesama. Sehingga baik kita diberi jabatan ataupun tidak, yang seharusnya tetap ada adalah kebersediaan diri kita yang mau dipakai Tuhan untuk menjadi alat di tangan-Nya, untuk membawa kemuliaan bagi nama-Nya.
Orang yang mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan akan bersedia memberi diri, waktu, karunia, dan juga talenta mereka untuk mau melayani Tuhan. Tidak hanya di hari Minggu saja, tetapi juga dalam hidup keseharian mereka.
Entah kita sedang berada di dalam keluarga / rumah, sekolah / tempat kuliah, kantor / tempat pekerjaan, sedang berbelanja di pasar, sedang naik kendaraan, di mana pun juga.. kita harus selalu siap sedia mengizinkan Tuhan untuk berbicara dan memakai hidup kita. Melihat setiap kesempatan yang ada untuk melakukan yang terbaik dan menjadi saluran berkat dari Tuhan bagi sesama, serta tidak melewatkan waktu dan kesempatan berlalu dengan begitu saja. Kita mempergunakan semaksimal mungkin waktu kita, untuk membawa kemuliaan hanya bagi nama-Nya.
Kita juga dapat belajar dari kehidupan Yusuf, yang di mana kisah di dalam hidupnya telah digerakkan oleh maksud Tuhan yang mulia.
“Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu. Setelah dilihat oleh tuannya, bahwa Yusuf disertai TUHAN dan bahwa TUHAN membuat berhasil segala sesuatu yang dikerjakannya,” (Kejadian 39:2-3).
Sekalipun ada penyertaan Tuhan di dalam hidupnya, Yusuf tidak malas dan menjadi seseorang yang tahu dan bijaksana dalam mempergunakan setiap waktu dan kesempatan, yang ada di dalam hidupnya. Sekalipun di tanah Mesir dirinya berprofesi menjadi seorang budak, dirinya tetap bekerja dengan sepenuh hati dan tidak mengurangi kerajinan di dalam menyelesaikan apa yang sudah menjadi tugas dan pekerjaannya.
Bahkan ketika keadaan diizinkan berubah menjadi tidak mudah, saat Yusuf difitnah dan akhirnya masuk ke dalam penjara.. Alkitab mencatat,
“Tetapi TUHAN menyertai Yusuf dan melimpahkan kasih setia-Nya kepadanya, dan membuat Yusuf kesayangan bagi kepala penjara itu. Sebab itu kepala penjara mempercayakan semua tahanan dalam penjara itu kepada Yusuf, dan segala pekerjaan yang harus dilakukan di situ, dialah yang mengurusnya. Dan kepala penjara tidak mencampuri segala yang dipercayakannya kepada Yusuf, karena TUHAN menyertai dia dan apa yang dikerjakannya dibuat TUHAN berhasil.” (39:21-23).
Sekalipun ada penyertaan dari Tuhan, kita dapat membaca dari ayat firman di atas bahwa Yusuf ini tetap mengurus dan menyelesaikan segala pekerjaan yang harus dilakukan di penjara tersebut.
Kalau kita yang berada di posisi Yusuf, kita mungkin akan disibukkan dengan berpikir banyak hal dan berusaha mencari alasan bagaimana caranya agar kita dapat segera keluar dari penjara tersebut. Sehingga pada saat juru roti dan juru minuman masuk ke dalam penjara karena membuat kesalahan terhadap Firaun dan mereka berdua mendapatkan mimpi (40:1-8), kalau kita yang berada di posisi Yusuf, bisa jadi kita akan dengan mudahnya mengabaikan mereka.
Tetapi kita membaca di ayat selanjutnya,
Ketika pada waktu pagi Yusuf datang kepada mereka, segera dilihatnya, bahwa mereka bersusah hati. Lalu ia bertanya kepada pegawai-pegawai istana Firaun yang ditahan bersama-sama dengan dia dalam rumah tuannya itu: “Mengapakah hari ini mukamu semuram itu?” Jawab mereka kepadanya: “Kami bermimpi, tetapi tidak ada orang yang dapat mengartikannya.” Lalu kata Yusuf kepada mereka: “Bukankah Allah yang menerangkan arti mimpi? Ceritakanlah kiranya mimpimu itu kepadaku.” (40:6-8).
Alih-alih pusing memikirkan bagaimana jalan keluar dari permasalahannya, Yusuf memilih untuk memiliki hati yang mau melayani kedua rekannya. Sekalipun Alkitab tidak mencatatnya pada kita, bisa jadi Yusuf mendatangi mereka dengan sukacita dan menawarkan diri untuk menolong.. apa yang dirinya dapat lakukan, untuk menyelesaikan pergumulan yang sedang mereka hadapi.
Seharusnya hal ini juga terjadi di dalam hidup kita. Milikilah kualitas hidup yang tidak mudah dikuasai oleh keadaan sekitar, di setiap waktu dan kesempatan kita selalu siap untuk memberi diri dan juga menggunakan talenta yang sudah dipercayakan Tuhan.. untuk dapat menjadi berkat dan terang Kristus, serta menjadi jawaban yang nyata bagi orang-orang di sekitar kita.
Sebab ada sukacita tersendiri yang dihasilkan pada saat kita menyadari kalau keberadaan kita ini dapat menjadi berkat bagi sesama, dan hal ini adalah sukacita yang selalu kita dambakan. Mengapa? Karena sukacita ini berbeda dengan sukacita yang kita dapat pada saat menerima berkat dari Tuhan. Sebuah sukacita yang dihasilkan pada saat kita dapat dipakai menjadi saluran berkat, untuk dapat menguatkan iman dari sesama kita.
Karena itu, dedikasikan hidup kita untuk melayani, izinkan Tuhan selalu bekerja di dalam dan melalui hidup kita, untuk memuliakan nama-Nya.
Kedua. Stefanus adalah seseorang yang mau dan dengan sengaja untuk terus membangun hidupnya, di dalam kebenaran firman Tuhan.
Ayat Bacaan: Kisah Rasul 7:1-53.
Di hadapan Imam Besar dan Mahkamah Agama, Stefanus mengutip banyak kisah yang telah ditulis di dalam hukum Taurat yang selama ini telah dipelajarinya, untuk menjawab pertanyaan dari Imam Besar. Melaluinya kita dapat belajar,
“Stefanus adalah seseorang yang mau dan dengan sengaja untuk terus membangun hidupnya, di dalam kebenaran firman Tuhan.”
Tetapi kebenaran firman Tuhan yang kita hidupi tidak hanya berfungsi sebagai jawaban yang kita beri, pada saat ada yang bertanya pada kita. Firman Tuhan itu jauh lebih bernilai, dari sekadar kita menambah wawasan dan pengetahuan.
Di dalam Perjanjian Lama (PL) saat seseorang mau mempersembahkan korban bakaran, ada banyak syarat yang harus dipenuhi agar korban tersebut layak berkenan di hadapan Tuhan. Satu syarat saja tidak terpenuhi, maka korban tersebut dinilai tidak layak untuk dipersembahkan bagi-Nya.
Pertanyaannya sekarang,
“Apakah kita di dalam masa kasih karunia ini, kita yang sudah menerima penebusan dosa melalui karya salib-Nya.. Apakah kita boleh menurunkan standar persembahan kita? Apakah kita akan menjalani kehidupan yang merupakan sebuah anugerah ini, hanya dengan asal saja?”
Firman Tuhan dianugerahkan di dalam hidup tidak hanya untuk memperlengkapi pada saat kita harus mempertanggungjawabkan iman kita pada orang lain, tetapi juga untuk membangun hidup sesama agar kita dapat selalu dilayakkan untuk menjadi “korban” yang berkenan di hadapan Tuhan.
Firman Tuhan kita perlukan untuk menyelaraskan hidup kita dengan kehendak-Nya, agar hidup yang kita persembahkan ini dapat menjadi persembahan yang harum dan sesuai dengan kehendak-Nya.
Pada suatu hari Pdt. Arthur mendengar khotbah dari Pdt. Stephen Tong, yang pada saat itu memiliki tema “Kekudusan Injil di dalam Khotbah.” Lebih lanjut dijelaskan karena Injil itu kudus, maka hidup dari yang memberitakan juga harus kudus. Sebab bisa jadi dari hari Senin sampai Sabtu hidupnya ngawur, tetapi di hari Minggu sudah berdiri di atas mimbar untuk menyampaikan kebenaran firman Tuhan pada jemaat. Hal ini sungguhlah ironis.
Inilah pentingnya kebenaran firman Tuhan bagi hidup kita. Hanya firman Tuhan yang memiliki kuasa untuk mengubah hati dan memperbarui pikiran. Kita membutuhkan kebenaran firman-Nya, agar hidup yang dipersembahkan bagi Tuhan ini dapat benar-benar berkenan di hadapan-Nya.
Dalam ibadah kita dapat mengalami sesuatu yang baik, karena Tuhan berkenan. Di dalam kebenaran firman-Nya, hidup kita dikuduskan-Nya. Setiap permohonan doa kita juga didengar, diterima, dan dijawab menurut waktu dan kehendak-Nya yang terbaik bagi setiap kita, anak-anakNya.
Kalau kita bisa menghabiskan waktu untuk scroll media sosial di handphone kita, maka kita seharusnya juga memiliki waktu untuk membaca kebenaran firman Tuhan yang ada di Alkitab.
Hanya firman Tuhan yang memiliki kuasa untuk menyelidiki hati, mengeluarkan yang keliru, dan membersihkannya total. Bersungguh hatilah dalam membangun hidup kita di atas dasar kebenaran firman Tuhan, bukan di atas dasar dunia.
Ketiga. Stefanus menjalani hidupnya dengan mata yang tetap tertuju pada Kristus.
Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka. Maka mereka menyambutnya dengan gertakan gigi. Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Lalu katanya: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” (Kisah Rasul 7:54-56).
Seharusnya saat itu Stefanus mengalami ketakutan dan gentar hati, karena dikelilingi orang-orang yang siap untuk melemparinya dengan batu. Bahkan secara manusia, Stefanus seharusnya menyesal mengapa di usianya yang masih muda ini mau melayani dan mempertahankan imannya, sampai harus kehilangan nyawanya.
Tetapi dari apa yang kita baca, Stefanus sama sekali tidak menyesal atas keputusannya yang selama ini sudah setia dalam melayani Tuhan. Juga tidak ada rasa takut untuk mengungkap penglihatan supranatural yang pada saat itu dilihatnya yakni, melihat kemuliaan Allah dan juga Tuhan Yesus yang berdiri di sebelah kanan Allah.
Bp. dr. Paulus Rahardjo membagikan pendapatnya pada Pdt. Arthur mengenai apa arti dari,
“Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.”
Dirinya mempercayai bahwa Tuhan Yesus hadir sebagai Pembela bagi hidup Stefanus. Karena Dia hadir. maka Stefanus tidak perlu takut dan gentar saat berdiri di hadapan Mahkamah Agama.
Pdt. Arthur mengamininya, dan mempercayai bahwa Tuhan Yesus juga berdiri karena Dia siap untuk menyambut anak-Nya pulang. Kita dapat belajar untuk menyambut kedatangan seorang yang sangat penting di sebuah acara, maka setiap yang hadir harus berdiri untuk menghormatinya.
Padahal Stefanus hanyalah seorang dari tujuh diaken untuk pembagian pada para janda dalam pelayanan sehari-hari (Kisah Rasul 6:1). Dirinya juga bukan seorang rasul yang penting. Tetapi karena kesungguhan hatinya dalam melayani, dia dapat melihat bagaimana Tuhan berdiri sebagai Pembela dan juga sebagai seorang Ayah yang siap untuk menyambut dan memeluk anak-Nya pulang.
Saat mata kita terus memandang pada Kristus, maka kita akan menyadari bahwa apa yang selama ini kita beri dan lakukan bagi Dia tidak akan pernah sebanding dengan apa yang sudah Dia beri dan lakukan di dalam kehidupan kita.
Pada saat kita melayani Tuhan, bisa jadi kita mengalami keadaan seperti dikecewakan dan dimanfaatkan, disalahpahami, bahkan difitnah oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Tetapi teruslah mengarahkan pandangan kita hanya kepada Kristus.. apa yang selama ini kita persembahkan di hadapan-Nya tidak ada yang sia-sia.
Melayani Tuhan adalah sebuah privilege / hak istimewa, dan hal ini jauh lebih bernilai dari apa yang dunia ini dapat tawarkan. Inilah yang dirasakan Stefanus, baginya hidup yang sudah dipersembahkan pada Kristus layak untuk dijalani dan bahkan sangat bernilai.
Milikilah hati yang tidak pernah menyesal dalam mengiring dan melayani Tuhan, sekalipun bisa jadi diizinkan ada banyak hal yang mengecewakan dan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan.
Yesus Kristus adalah Teladan hidup. Arahkan pandangan kita kembali pada Kristus yang menjadi Kompas dan yang memberikan arah bagi hidup kita. Pengabdian kita pada Tuhan jauh lebih bernilai dari apa pun yang ada di dalam dunia ini, dan jangan pernah menyesal dalam mengiring Dia.
Berkat dari Hidup yang Dipersembahkan pada Tuhan.
Setiap dari kita akan diubah menjadi dewasa di dalam Tuhan, kita juga dijagai di dalam damai sejahtera-Nya, dan kita juga akan mengalami kemenangan iman bersama dengan-Nya.
Marilah di setiap harinya kita mempergunakan setiap waktu dan kesempatan yang dianugerahkan untuk dapat melayani Tuhan dan sesama, terus membangun hidup kita di atas dasar kebenaran firman Tuhan yang ada di dalam Alkitab, serta menjalani hidup kita dengan mata yang senantiasa tertuju pada Kristus. Menjadikan Dia sebagai satu-satunya Kompas panduan yang mengarahkan arah di dalam hidup kita.
Amin. Tuhan Yesus memberkati..





Komentar