top of page

Lydia CSES - Song of Hope (Psalm 42)

  • mdcsbysystem
  • 22 Des 2024
  • 12 menit membaca

Catatan Khotbah: Song of Hope. Ditulis ulang dari sharing Ibu Pdt. Lydia CSES di Ibadah Minggu di MDC Graha Pemulihan, pada Tgl. 15 Desember 2024.



Ayat Bacaan: Mazmur 42:1-6.


Dari ayat-ayat di atas kita akan belajar bersama bagaimana caranya agar kita dapat bangkit kembali dari keterpurukan, dan kembali menemukan harapan di dalam hidup ini.


“Untuk pemimpin biduan. Nyanyian pengajaran bani Korah.” (ayat 1).


Sering kali kita hanya membaca sambil berlalu di bagian pertama di ayat ini, tetapi Alkitab pasti memiliki tujuan dan tidak asal dalam mencantumkan setiap tulisan di dalamnya. Alkitab pasti ingin mengajar kita apa maksudnya.


Di ayat di atas dituliskan kata-kata “Nyanyian pengajaran bani Korah”, di mana bani Korah sendiri ini adalah sebutan untuk anak-anak Korah bin Yizhar bin Kehat bin Lewi yang merupakan salah seorang yang mengajak orang Israel untuk memberontak melawan Musa (Bilangan 16:1-2).


Dan kita dapat membaca bagaimana akhir dari kehidupan mereka,


“..terbelahlah tanah yang di bawah mereka, dan bumi membuka mulutnya dan menelan mereka dengan seisi rumahnya dan dengan semua orang yang ada pada Korah dan dengan segala harta milik mereka.” (ayat 31-32).


Tetapi di Bilangan 26:11 dikatakan bahwa anak-anak Korah tidaklah mati.


Sehingga melalui nyanyian pengajaran bani Korah di dalam Mazmur 42:1 kita dapat belajar bahwa kita tidak bisa memilih siapa orang tua kita, siapa nenek moyang kita, dan dari mana kita dilahirkan. Korah, yang merupakan ayah dari bani Korah telah mati dihukum Tuhan dengan cara yang begitu mengerikan, tetapi anak-anaknya masih diberi anugerah dan kesempatan untuk dapat melayani Tuhan bersama dengan umat-Nya.


Apa pun latar belakang di dalam hidup kita tidak akan pernah menentukan bagaimana masa depan hidup kita, sebab hidup kita sendiri hanya ditentukan dari apa kata firman Tuhan dan juga apa yang kita perbuat di dalam kehidupan ini.


“Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” (ayat 2).

Sering kali ayat di atas digambarkan dengan seekor rusa yang meminum air di sungai dangkal, serta keadaan sekitar yang digambarkan begitu damai. Tetapi seharusnya penggambaran yang tepat adalah rusa tersebut berada di padang gurun tandus, kondisi kering kerontang, hanya air yang dapat memuaskan dahaga dari rusa tersebut.


Di ayat 2 ini kita dapat belajar bahwa, ada kalanya kita diizinkan untuk berada di dalam musim kehidupan yang semuanya “serba kering”. Bahkan apa yang namanya harta, takhta, dan segala isi dunia ini tidak dapat memuaskan hasrat di dalam hati kita. Kekosongan di dalam hati kita hanya dapat diisi serta dipuaskan oleh Sang Pencipta hidup kita, dan juga hanya di dalam hadirat-Nya.


Ketika kita berada di dalam hadirat-Nya, maka Tuhan dapat mewahyukan Diri-Nya lebih lagi dan kita dapat mengenal Dia secara pribadi, bukan dari apa kata orang lain. Karena,


“..umat yang mengenal Allahnya akan tetap kuat dan akan bertindak.” (Daniel 11:32).

Selama kita hidup di dalam dunia, tetap masih ada tantangan yang harus dihadapi dan juga diselesaikan. Hanya karena status kita menjadi anak-anak Tuhan yang sudah ditebus oleh darah Kristus, bukan berarti kita terus diluputkan dan dihindarkan dari berbagai masalah.


Ada kisah dari seorang jemaat yang setia dan cinta Tuhan, yang sedang membangun usaha bisnisnya. Ketika berinvestasi, ternyata perhitungannya di luar perencanaan. Akhirnya dirinya harus menanggung banyak kerugian, menjual semua asetnya, bahkan anak-anaknya sekarang jadi terkendala biaya sekolah. Jemaat ini mencoba mencari pekerjaan lainnya, tetapi tetap saja tidak dapat membayar semua kerugian yang harus ditanggungnya.


Masalah seperti ini bisa saja diizinkan untuk dialami anak-anak Tuhan. Puji Tuhan kalau keadaan kita baik-baik saja, tetapi jangan pernah lupakan bahwa musim kekecewaan dan keputusasaan dapat menghampiri siapa saja. Ketika musim tersebut datang, izinkan kebenaran firman Tuhan di dalam Alkitab yang selalu memimpin dan menguatkan hidup kita.


“Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (ayat 3).

Ayat di atas adalah bahasa puisi, sehingga kita susah untuk menebak bagaimana emosi di balik ayat tersebut. Tetapi bahasa sederhananya adalah, sang pemazmur sedang mengalami masalah yang sangat berat, sering berteriak kepada Tuhan tetapi tidak pernah mendapat pertolongan dari-Nya. Itulah sebabnya sang pemazmur mengatakan,


“Bilakah aku boleh datang melihat Allah?”

Ada masa-masa di dalam hidup ini di mana untuk kita mendapatkan pertolongan dari Tuhan, kita begitu berat mempergumulkannya. Ayat di atas kemungkinan ditulis dalam masa pembuangan, di mana umat Allah digambarkan begitu terpuruk, dan dikepung dengan berbagai penderitaan.


“Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?”” (ayat 4).

Mungkin kita merasa terhubung dengan ayat ini, di mana tak jarang dari antara kita yang mengalami keadaan penuh dengan kebingungan, sering menangis di waktu siang dan malam karena menanggung beratnya beban pergumulan, divonis sakit penyakit yang cukup menggetarkan iman, ditinggal mendadak oleh orang-orang yang kita sayangi, dan membayar berbagai tagihan yang jatuh tempo tetapi kita masih belum ada dananya.


Putra pertama dari Ibu Pdt. Lydia CSES pernah mendapat janji dari seseorang yang akan men-support penuh biaya perkuliahan dan biaya hidup selama di Australia. Tetapi setelah 3 minggu berada di negeri Kangguru, tiba-tiba janji tersebut putus begitu saja. Ketika mendengar berita tersebut, hal itu seperti pukulan yang cukup berat dan sempat membuat depresi, karena membayangkan biaya di Australia yang tidaklah murah.


Ibu Pdt. Lydia dan suaminya panik dan sempat menyuruh putranya untuk kembali saja ke Indonesia. Tetapi mereka terus mempergumulkan di dalam doa, berlutut mencari wajah Tuhan, serta menghampiri hadirat-Nya. Pada saat itu firman Tuhan datang, dan mengingatkan Ibu Pdt. Lydia tentang kisah Petrus yang berjalan di atas air.


“Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.” Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!” Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”” (Matius 14:28-31).


Dari ayat di atas kita mendapatkan dua pelajaran. Pelajaran yang pertama adalah,


Ketika keadaan begitu berat menghimpit hidup kita, dan banyak orang mencibir “Di mana Allahmu?”.. carilah firman Tuhan dan mintalah rhema dari-Nya, sama seperti Petrus yang meminta Tuhan Yesus untuk menyuruhnya datang dan berjalan di atas air. Realitas memang tetap ada dan harus kita hadapi, tetapi kebenaran firman Tuhan yang membuat hidup kita tetap kokoh dan berdiri teguh.


Pelajaran kedua, di ayat 29 dikatakan,


“Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus.”

Di ayat selanjutnya dikatakan,


“Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!”” (ayat 30).

Seorang yang panik akan mengizinkan perasaannya untuk terus menuntut dan menguasai seluruh tindakan di dalam hidupnya. Itulah sebabnya kita harus datang ke dalam hadirat Tuhan untuk meminta firman dan tuntunan yang dapat mengarahkan hidup kita.


Menghadapi keputusan mendadak atas apa yang terjadi pada putra pertamanya, Ibu Pdt. Lydia dan juga suaminya memutuskan untuk terus berdoa dan menangis di hadapan Tuhan. Sekarang putra pertamanya ini sudah menyelesaikan semua perkuliahannya di Australia, sehingga yang dipermuliakan hanyalah Tuhan dan anugerah-Nya yang selama ini sudah memelihara umat-Nya.


“Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah-gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan. Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (ayat 5-6).


Dari ayat di atas kita mendapati bahwa kondisi perasaan dari sang pemazmur menghadapi tekanan yang begitu luar biasa, sampai dirinya merasa putus asa. Hal ini ditulis sebanyak tiga kali,


“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku..” (ayat 6).


“Why are you cast down, O my soul,” (English Standard Version, verse 5).


“Jiwaku tertekan dalam diriku,” (ayat 7).


“My soul is cast down within me;” (English Standard Version, verse 6).


“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku,” (ayat 12).


“Why are you cast down, O my soul,” (English Standard Version, verse 11).


Kalau seseorang sudah mengalami stres berat, bila tidak berhati-hati, maka kepanikan dapat memimpin perkataan dan perbuatannya.


Pada suatu hari, adik dari Ibu Pdt. Lydia mengalami sakit usus buntu yang kronis, dan tiba-tiba pingsan di depan pintu pagar rumah. Kakaknya berniat membantu untuk membayar biaya di rumah sakit, membawa uang tunai dan naik bus kota, ternyata kecopetan di dalam bus. Ibunya menggadaikan seluruh emas miliknya, lalu naik becak, ternyata di tengah perjalanan ibunya malah dirampok.


Kalau kita tidak benar-benar memiliki pengenalan yang karib dan benar bersama dengan Tuhan, maka kita bisa terjebak ke dalam keadaan mengasihani diri sendiri. Kita bisa saja berpikir,


“Mengapa kita sudah setia di dalam mengiring Tuhan, kok malah mendapatkan kesialan? Di manakah Tuhan berada? Apakah Dia sudah tidak sanggup untuk memberkati dan menjaga kita?”


Berhati-hatilah. Awal mula dari keadaan depresi bisa jadi karena kita terlalu sering mendengarkan apa kata hati kita, padahal belum tentu benar adanya. Ada kalanya kita harus berbijaksana untuk tidak selalu mengasihani diri sendiri.


“Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yeremia 17:9).

Being castdown / despair / menjadi tertekan sampai merasa putus asa adalah keadaan di mana kita mengalami stres luar biasa dan sudah tidak lagi memiliki pengharapan.


Keadaan seperti ini dapat dijumpai pada seekor domba yang memiliki kebiasaan suka berguling-guling. Tetapi bila domba tersebut sudah dalam keadaan terlentang / keempat kaki menghadap ke atas.. maka domba tersebut akan panik karena tidak bisa kembali ke posisi semula. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah gas akan memenuhi lambungnya, yang membuatnya menjadi keras, dan bila dalam waktu 24 jam tidak segera ditolong, maka domba tersebut akan segera mati.


Kepanikan yang tidak dengan segera diatasi dapat membuat hidup kita menjadi semakin buruk, semakin banyak kita mendengar “berbagai suara”, dan pada akhirnya dapat “membunuh” kita.


Dari pelajaran domba yang suka berguling-guling dan tidak bisa kembali ke posisi semula mengingatkan kita bahwa hidup kita ini sesungguhnya fragile / rapuh. Tanpa kehadiran dan pertolongan Tuhan, kita tidak memiliki pengharapan dan tidak dapat berbuat apa-apa. Inilah yang mau dikatakan sang pemazmur.


Season of Discouragement.


Di dalam Mazmur 42 ini, sang pemazmur menghadapi berbagai musim keputusasaan,


Pertama. “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?”” (ayat 4).


Bisa jadi selama ini kita sudah rajin dan setia dalam mengiring Tuhan, tetapi mengapa tidak datang tepat waktu, pertolongan dari-Nya?


Kedua. “Samudera raya berpanggil-panggilan dengan deru air terjun-Mu; segala gelora dan gelombang-Mu bergulung melingkupi aku.” (ayat 8).


Di ayat ini hendak menunjukkan keadaan sang pemazmur yang terjepit, hidupnya begitu fragile / rapuh, dan hopeless / tidak berpengharapan.


Ketiga. “Mengapa Engkau melupakan aku? Mengapa aku harus hidup berkabung di bawah impitan musuh?” (ayat 10).


Ketika emosinya meluap ke atas, sang pemazmur mulai mengalami self pity / mengasihani diri sendiri. Sang pemazmur merasa bahwa Allah sudah melupakan dan meninggalkan dirinya. Perasaannya mendominasi. Ketika kita mengizinkan perasaan memimpin, maka hidup kita bisa berantakan.


Sebab bagaimanapun juga,


Feeling bukanlah hasil dari apa yang terjadi, tetapi seharusnya hanya sebatas respon dari apa yang terjadi.

Misalnya, ketika Tuhan mengizinkan anak dari Ibu Pdt. Lydia terkena penyakit kanker. Secara manusia bisa jadi kita memberi respon mengapa sudah melayani Tuhan dengan sungguh tetapi Tuhan malah mengizinkan terjadi hal seperti itu?


Tetapi bagaimanapun juga, keadaan ini bukanlah hasil dari kesetiaan kita dalam melayani Tuhan. Kita harus belajar berbijaksana untuk tidak selalu mengizinkan feeling / perasaan kita untuk memutuskan dan menilai. Sebab,


Perasaan hanyalah sebatas respon secara manusia, tidak selalu hasil dari apa yang sudah kita perjuangkan selama ini.


Sebab kalau hal ini tidak dengan segera kita atasi, maka kita bisa terpuruk, masuk ke dalam self pity berlebihan dan mengatakan mengapa Tuhan begitu tega melupakan dan meninggalkan hidup kita.


Ada seorang anak Tuhan yang kerjanya baik, cerdas, dan sangat pintar. Pada suatu hari Tuhan mengizinkan ada sesuatu yang terjadi sehingga membuat perusahaannya bermasalah. Ayahnya yang belum menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat mengejeknya dan berkata,


“Di mana Yesusmu? Hidup Papa saja jauh lebih diberkati dari kamu..”


Anak ini menangis, dan mempertanyakan di mana Allahnya yang dapat membuat keajaiban?


Tetapi marilah berhenti di bagian ini, jangan sampai kita terjebak masuk ke dalam self pity dan depresi berat. Jangan sampai kita juga terjebak ke dalam pernyataan menyesatkan,


“Buat apa saya hidup kalau hanya menyusahkan orang lain? Hidup ternyata berjalan hanya begini-begini saja. Saya sudah tidak dikasihi dan sudah dilupakan Tuhan. Doa saya tidak pernah dijawab, rasanya Tuhan sudah meninggalkan saya..”


Banyak orang mendengar feeling / perasaannya, dan merasa menjadi orang yang hidupnya paling dikecewakan dan disakiti. Jangan berhenti di tahap ini, teruslah melangkah maju ke depan.


Hal apakah yang dapat dilakukan untuk melewati berbagai musim kekecewaan?


Pada suatu hari ada seorang hamba Tuhan yang dijanjikan untuk melayani di sebuah gereja, yang letaknya berada di luar kota. Tempat tinggal dan segala biaya hidupnya, dijanjikan akan di-support penuh oleh gereja tersebut. Lalu hamba Tuhan ini dengan segera menjual segala miliknya, dan bersiap untuk pindah ke kota baru tersebut. Tetapi pada saat tiba di kota yang baru, gembala gereja setempat mengatakan tidak jadi.


Di dalam masa kekecewaan, hamba Tuhan ini merasa bahwa Tuhan sudah berdiri di depan pintu kesempatan tetapi mendadak pintu kesempatan tersebut ditutup Tuhan dengan segera.


Bagaimana kita dapat melewati masa-masa kekecewaan seperti ini?


Pertama. Jujurlah dengan kondisi hati kita.


“as I pour out my soul:” (English Standard Version, verse 4).
“..sementara jiwaku gundah-gulana;” (ayat 5).

Doa biasanya hanya sebatas menjadi tombol panik. Tetapi marilah kita belajar bersama apa pun keadaan kita, baik atau sedang kurang baik, tetaplah setia untuk berdoa. Selain itu apa pun keadaan kita, datanglah selalu pada Tuhan.


Hal ini bukanlah soal positive thinking / berpikir positif saja, tetapi lakukanlah hal ini dengan setia. Carilah seorang yang tepat, yang dapat menguatkan hati dan hidup kita. Tetapi yang paling tepat adalah kita datang menghampiri Tuhan. Itulah sebabnya Alkitab mengatakan pada kita,


“Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:6).


Mengapa lebih baik kita masuk ke dalam sebuah kamar untuk berdoa? Karena kalau di luar, orang lain dapat berpikir dan menilai kita dengan bermacam-macam. Bisa jadi kita hanya dianggap berpura-pura saja dalam berdoa atau kita hanya dianggap “bermain drama”. Tetapi ketika kita masuk ke dalam ruang doa, kita tidak bermain drama. Karena yang ada hanyalah kita dengan Pribadi Tuhan saja. Kita dapat dengan jujur mencurahkan isi hati kita di hadapan Tuhan.


Selain itu, bila kita bercerita pada orang yang salah maka masalah yang pada mulanya terlihat sepele dan sederhana bisa berubah menjadi besar. Tetapi, curahkanlah isi hati kita selalu di hadapan Tuhan. Dia tidak akan pernah marah pada kita.


Kedua. Self Dialogue.


“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:6).

Bukan instropeksi diri, tetapi khotbahi dan berbicara pada diri kita sendiri bukan mendengar apa yang diri kita sendiri katakan.


Oleh karena itu, jangan selalu izinkan perasaan kita berbicara pada kita tetapi kita yang berbicara pada perasaan kita. Saat sang pemazmur sedang gundah gulana (ayat 5), dia mengkhotbahi, menguatkan, dan mengingatkan dirinya sendiri segala kebaikan Tuhan yang sudah dialaminya.


Salah satu hal yang dapat membantu kita adalah pada saat kita memiliki album foto atau menulis sebuah jurnal / buku catatan harian. Melaluinya, kita dapat mengingat kembali semua kebaikan dan pertolongan Tuhan yang terjadi di dalam hidup kita, yang di mana pada saat itu kita sedang berada di dalam keadaan terjepit dan memiliki masalah berat. Melaluinya kita dapat dikuatkan,


“Kalau Tuhan pernah menolong dan memberi kebaikan-Nya pada kita di masa lampau, di masa kini dan juga yang akan datang, Tuhan pasti masih sanggup untuk setia dan menolong hidup kita.”

Perkatakanlah kebenaran firman Tuhan,

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Filipi 4:13).


Ingatkanlah juga diri kita sendiri, Siapakah Tuhan itu?

Dia adalah Tuhan yang besar yang menciptakan langit dan bumi, yang membuat dan memberi nama bintang-bintang di alam semesta, tetapi Dia juga mengenal nama setiap kita. Dia mau mati untuk menebus setiap dosa manusia, dan bangkit dari kematian untuk mengalahkan kuasa maut.


Apa yang Tuhan telah dan akan lakukan? Apa yang Tuhan telah janjikan untuk dilakukan-Nya?

Dari mana kita mendapat jawaban dari pertanyaan di atas? Dengan membaca Alkitab kita. Selain itu kita juga dapat berdoa untuk meminta tuntunan dari Tuhan, hal apakah yang akan menjadi pegangan di dalam hidup kita untuk kita dapat melalui berbagai musim di dalam hidup ini.


Tantang diri kita dan katakan pada dunia,


“I shall yet praise Him, for He is my God!”

Jangan biarkan perasaan kita selalu mendikte dan memaksa kita untuk mengambil keputusan, tetapi perkatakan pada diri kita sendiri segala kebaikan yang Tuhan sudah pernah lakukan dan Dia akan tetap melakukannya, yakni untuk memberkati dan memelihara kita. Dia itu Tuhan yang setia.


Ketika kita memuji Tuhan, hal ini kita lakukan bukan karena kondisi kita sedang baik-baik saja, tetapi memang karena Tuhan kita adalah Tuhan yang besar yang layak untuk dipuji, dan kita mau melangkah dengan iman bahwa Dia masih sanggup untuk memelihara hidup kita.


Ketiga. Berharap kembali.


“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:6).

Bila kita sudah tidak memiliki kekuatan untuk dapat berharap lagi, ingatlah selalu segala kebaikan yang Tuhan sudah perbuat di dalam hidup kita. Teruslah bangkit untuk berani berharap kembali.


“Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuhmu terpelihara sempurna dengan tak bercacat pada kedatangan Yesus Kristus, Tuhan kita.” (1 Tesalonika 5:23).


Paulus menuliskan bahwa manusia itu terdiri dari roh, jiwa, dan tubuh. Tetapi roh kita sering kali terjepit karena kita tidak pernah memberi makan jiwa kita. Bagaimana caranya memberi makan jiwa kita? Yakni dengan memuji dan menyembah Tuhan, serta membaca firman Tuhan di dalam Alkitab.. semuanya ini dapat mengenyangkan jiwa kita.


Teruslah berharap di dalam Tuhan. Walaupun keadaan kita pada hari-hari ini tampak tertekan dan seolah tidak lagi memiliki pengharapan.. apakah kita mau tetap bangkit dan menaikkan ucapan syukur kita kembali kepada Tuhan?


Marilah mengakhiri tahun 2024 ini dengan menaikkan ucapan syukur kepada Tuhan. Tetaplah bersyukur dan memiliki pola pikir bahwa masih banyak orang yang hidupnya kurang beruntung dari kita. Ketika kita mau menaikkan ucapan syukur, maka jiwa kita akan dipenuhi dengan banyak nilai positif dan setiap kita akan dimampukan untuk dapat melihat cahaya kebenaran dari firman Tuhan.


Tetapi kalau kita selalu mengeluh, maka mata hati kita dapat menjadi gelap, dan hidup kita akan menjadi berantakan / tidak keruan.


“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu.” (Yesaya 43:4).


Katakanlah pada diri kita sendiri, mengenai ayat firman Tuhan di atas sehingga yang muncul pada akhirnya nanti hanyalah ucapan syukur. Bila kita terus mengomel, maka jiwa kita dapat menjadi gelap. Sebab bagaimanapun juga,


Harapan kita bukan dari apa yang terjadi di luar, tetapi berasal dari dalam yakni diisi oleh firman dan janji Tuhan yang menguatkan hidup kita, dan nantinya mengalir keluar untuk dapat memberkati dan menguatkan hidup orang lain.


Amin. Tuhan Yesus memberkati..

Comments


GKPB Masa Depan Cerah Surabaya

©2025 by GKPB Masa Depan Cerah Surabaya

bottom of page